Jogja Tetap Jadi Magnet Wisata, Pemerintah dan Industri Harus Kompak

YOGYAKARTA – sadap99.id
Meski daya beli masyarakat tengah menurun, Yogyakarta masih menjadi magnet utama pariwisata Indonesia. Ketua Dewan Penasehat Kadin DIY, Tazbir Abdullah, menyatakan bahwa kekuatan Yogyakarta sebagai destinasi wisata terletak pada kekayaan budaya serta ikon-ikon yang telah mendunia, seperti Malioboro.
Mantan Kepala Dinas Pariwisata DIY, Tazbir Abdullah, menuturkan bahwa Yogyakarta memiliki dua sudut pandang—domestik dan internasional. “Malioboro dan ikon-ikon lainnya menjadikan kota ini sebagai destinasi sejati,” ujarnya saat ditemui di Narasa Resto & Caffe, Banguntapan, Yogyakarta, Senin (21/4/2025).
Meski jumlah kunjungan wisatawan masih tinggi, ia mengakui bahwa tren pembelian produk oleh wisatawan mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Kuncinya sekarang adalah kekompakan. Pemerintah dan pelaku industri harus berjalan beriringan. Hotel harus memahami peran masing-masing, sementara pelaku wisata harus saling mendukung. Jogja adalah ikon, dan tidak akan jatuh terlalu dalam jika kita tetap solid,” tegasnya.
Tazbir juga menyoroti pentingnya promosi digital, termasuk peran media sosial yang kini semakin dominan. Menurutnya, hotel-hotel besar pun mulai beralih ke pendekatan promosi yang lebih strategis guna menjangkau pasar yang lebih luas secara daring.
Tak hanya itu, sektor seni rupa juga dinilainya memiliki potensi besar. “Banyak pameran seni digelar, tetapi apakah sudah terhubung dengan ekosistem pariwisata? Apakah tamu hotel diajak ke galeri dan didorong untuk membeli karya seni?” ujarnya penuh harap.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemandu wisata, galeri seni, dan pelaku pariwisata guna menjembatani wisatawan dengan kekayaan budaya lokal. “Pemerintah perlu mendukung dengan kebijakan, tetapi jangan hanya menunggu. Semua pihak harus bergerak.”
Senada dengan hal tersebut, Agus Budi Rahman, pemerhati pariwisata Yogyakarta, menyoroti sisi lain dari geliat pariwisata dan pembangunan di kota ini. Menurutnya, di balik gemerlap Yogyakarta, terdapat keresahan yang tak boleh diabaikan.

“Yogyakarta, kota yang dijuluki ‘istimewa’, nyaris tak pernah tidur. Namun, di tengah gemerlap lampu Malioboro dan kepulan asap angkringan, muncul pertanyaan: benarkah pemerintah dan industri berjalan seirama?” katanya saat ditemui di sebuah kafe di Yogyakarta.
Agus Budi Rahman menguraikan bahwa laju pembangunan yang pesat kerap tidak selaras dengan aspirasi masyarakat lokal. Ia menyoroti menjamurnya hotel, gedung komersial, serta proyek-proyek besar yang tidak selalu berpihak pada rakyat kecil.
“Romantisme Yogyakarta yang ramah dan bersahaja kini berubah menjadi kegelisahan kolektif. Banyak warga merasa terpinggirkan dalam dinamika pembangunan,” ucapnya.
Ia juga menyoroti bahwa identitas budaya Yogyakarta mulai terkikis. Julukan “kota pelajar” pun terasa semakin eksklusif, sulit dijangkau oleh kalangan berpenghasilan rendah. Sementara industri pariwisata dan properti tumbuh pesat, kesejahteraan masyarakat bawah tidak selalu meningkat sejalan.
“Kolaborasi antara pemerintah dan industri terlihat solid secara formal. Namun pertanyaannya adalah, ke mana arah pembangunan ini sebenarnya? Apakah semua pihak benar-benar satu visi, atau sekadar menari dalam irama kepentingan jangka pendek?” tanyanya.
Ia mengajak semua pihak untuk kembali membuka ruang dialog, melibatkan masyarakat secara aktif, dan menjadikan pembangunan sebagai proses bersama.
“Yogyakarta harus bisa mencintai kemajuan tanpa mengorbankan jati dirinya. Keistimewaan sejati lahir dari keberanian untuk bertanya, berdialog, dan berjalan bersama,” pungkas Agus Budi Rahman.
Pewarta: omE