Beranda » Membumikan Filosofi Memayu Hayuning Bawono Bagi Kesejahteraan Masyarakat

Membumikan Filosofi Memayu Hayuning Bawono Bagi Kesejahteraan Masyarakat

Bagikan Berita

YOGYAKARTA, SADAP99.ID
Kadipaten Pakualaman Yogyakarta kembali menggelar Dialog Budaya dengan tema “merawat tradisi pemikiran dalam upaya membumikan Memayu Hayuning Bawono bagi kesejahteraan di Kadipaten Pakualaman” bertempat di gedung Kepatihan Pakualaman, jln masjid no.5 Yogyakarta, jumat (17/5/2024).

Pembicara Prof.Dr.H.Abdul Mustaqim,M.A., (Guru Besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta)., K.P.H.Kusumoparastho, (Sentono Kadipaten Pakualaman), dihadiri perwakilan Komunitas, Akademisi, Budayawan dan Tokoh Masyarakat.,

Acara dialog budaya dikemas dalam suasana yang tidak formal dengan pemaparan materi dari para pembicara dan tanggapan serta interaksi dan diskusi dari para peserta.

Prof.Dr.H.Abdul Mustaqim,M.A, dalam makalahnya tentang Relasi Agama, Negara dan Budaya menuturkan konsep umum indikator moderasi beragama meliputi bersikap toleran, seimbang dan setara (Al-Tawazun Al-Musawah), memiliki komitmen kebangsaan, anti terhadap kekerasan, menghargai nilai-nilai tradisi dan budaya lokal.

Moderasi dalam pemahaman agama adalah bersikap tengah-tengah dalam memahami teks-teks keagamaan, yang tidak ekstrim kanan dan ekstrim kiri jadi harus moderat.

Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga otentisitas ajaran Islam, mendekatkan antara teks dan realita yang plural, merawat harmoni dan kerukunan sosial ditengah masyarakat yang plural, menjadikan tafsir agama sebagai solusi bukan sekedar narasi apalagi ilusi, tafsir tidak hanya on paper, tapi on reality, tafsir selalu dinamis dan tidak mandeg, jadi selalu ada pembaharuan (tajdid). tutur Prof.Abdul Mustaqim.

Sementara itu, K.P.H .Kusumoparastho menjelaskan landasan filosofi Keistimewaan adalah Memayu Hayuning Bawono, Sengkan Paraning Dumadi dan Manunggaling Kawulo Klawan Gusti, landasan filosofi ini dapat diterjemahkan dalam perspektif budaya untuk dapat dioperasionalkan, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lebih lanjut KPH.Kusumoparastho menyampaikan bahwa, perlu diketahui berdirinya Kadipaten Pakualaman bukan dari ambisi untuk mendapat kedudukan, tetapi dari kesetiaan, kemampuan akal, didasari kepasrahan kepada Tuhan.

Sejarah mencatat bahwa dua kerajaan yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman loro-lorone atunggal, kedua kerajaan ini mendukung NKRI diawal Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, kemudian muncullah penghargaan NKRI secara de jure dengan pengesahan Undang-Undang Keistimewaan DIY nomor 13 tahun 2012.

Landasan filosofi Keistimewaan perlu dibumikan agar dapat diimplementasikan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam usaha membumikan filosofi Memayu Hayuning Bawono ternyata masih terdapat kendala, dengan beberapa kali menghadirkan para budayawan dan para cendikia untuk mengurai persoalan tersebut namun belum mendapatkan keterangan yang jelas, karena belum ada rujukannya.

Dalam usaha mencari filosofi untuk diterjemahkan atau di operasionalkan muncul pemahaman dari Sunan Kalijaga tentang “Mataram Islam” yang disampaikan “Jawane gawenan,islame garapen” ( budayane gawenan,agamane garapen), maka terbitlah pemahaman dalam Islam ( berserah diri kepada Tuhab Yang Maha Esa) dimana ada rujukannya jelas yaitu Al-Qur’an, ujar Sentono Kadipaten Pakualaman.

Sebagai wangsa Kadipaten Pakualaman memberikan masukan tentang filosofi Keistimewaan dengan menggunakan tradisi pemikiran. Dalam budaya itu ada yang antroposentris artinya budaya yang bertumpu pada masing-masing perjalanan manusia, akibatnya dalam menerjemahkan sesuatu ada berbagai bentuk, tidak ada rujukan yang jelas. Adapun lainnya adalah budaya yang teosentris yang bertumpu kepada Tuhan untuk ini rujukannya jelas yaitu Kitab Tuhan, abtara lain adalah Al Qur’an. pungkasnya.
(Ome)