Beranda » Ketua DPD GIPI DIY: Pariwisata DIY di Persimpangan, Perlu Strategi Diversifikasi dan Ketahanan Industri

Ketua DPD GIPI DIY: Pariwisata DIY di Persimpangan, Perlu Strategi Diversifikasi dan Ketahanan Industri

PSX_20250417_102219
Bagikan Berita

YogyakartaSadap99.Id
Sektor pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tengah memasuki masa kritis. Kondisi ini bukan disebabkan oleh bencana atau pandemi, melainkan oleh regulasi baru, yakni Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Kebijakan yang bertujuan menata pariwisata nasional justru membawa dampak signifikan bagi ekosistem wisata di DIY.

Ketua DPD Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY, Bobby Ardiyanto, menegaskan bahwa Inpres ini menggerus denyut nadi sektor wisata, terutama aktivitas MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) dan study tour yang selama ini menjadi tulang punggung pariwisata domestik.

Bobby Ardiyanto menjelaskan, *“Sekitar 60% kegiatan MICE di DIY berasal dari instansi pemerintah. Sementara itu, larangan *study tour* oleh sejumlah daerah menghapus hampir 40% potensi kunjungan wisatawan. Hal ini membuat kita harus realistis dan segera menyusun langkah antisipatif.”* Pernyataan tersebut disampaikan Bobby dalam pertemuan strategis GIPI DIY di Java Villas Yogyakarta, Rabu (16/4/2025).

Membangun Ulang Arah Strategi Pariwisata

Menghadapi situasi ini, GIPI DIY menawarkan sejumlah strategi diversifikasi pasar dan optimalisasi sumber daya. Bobby memaparkan langkah-langkah kunci yang dinilai krusial untuk mempertahankan daya saing pariwisata DIY:

  • Menghidupkan kembali weekday tourism dengan menghadirkan produk menarik di hari kerja.
  • Menyusun paket bundling wisata berbasis pendidikan, seperti mengintegrasikan jadwal wisuda dan MICE kampus.
  • Kolaborasi pelaku event dengan industri wisata dalam program pra dan pasca-event.
  • Pengembangan wellness dan medical tourism dengan ekosistem seperti Jogja Creative Wellness Festival (JCWF).
  • Penguatan sport tourism melalui event olahraga dan atraksi pendukung.
  • Revitalisasi desa wisata melalui konsep Community-Based Tourism dan festival tematik.
  • Sinkronisasi program promosi UMKM dan pusat belanja dengan bundling wisata, seperti program great sale.

*“Strategi ini tidak bisa berjalan sendiri. Diperlukan orkestrasi lintas pemangku kepentingan agar dapat memperkuat ekosistem wisata secara berkelanjutan, terutama di masa *weekdays* yang selama ini kurang tergarap,”* tegas Bobby.

Dampak pada Pelaku Wisata Kecil

Agus Budi Rahman, Wakil Ketua Bidang Objek Daya Tarik Wisata dan Event GIPI DIY, menyoroti paradoks yang muncul dari kebijakan Inpres ini. Menurutnya, banyak pelaku wisata kecil—mulai dari homestay hingga komunitas lokal—justru tertekan oleh aturan yang terlalu teknokratis.

“Homestay yang belum tersertifikasi terpaksa tutup. Pemandu wisata non-formal kehilangan ruang gerak. Komunitas yang selama ini menjadi penggerak destinasi alternatif malah terjebak dalam birokrasi,” jelas Agus.

Ia menilai regulasi ini berpotensi mengubah wajah pariwisata DIY yang selama ini inklusif dan berbasis masyarakat menjadi industri yang eksklusif dan tidak ramah terhadap inisiatif akar rumput.

“Kami paham pentingnya profesionalisme, tetapi regulasi harus memiliki empati pada realitas lapangan. Jika tidak, sektor ini bukan hanya kehilangan pemasukan, tetapi juga jiwanya,” tegas Agus.

Menuju Pariwisata DIY yang Tangguh dan Adaptif

Baik Bobby maupun Agus sepakat bahwa momentum ini harus menjadi titik refleksi untuk merumuskan ulang arah pariwisata DIY—dari sekadar destinasi menjadi ekosistem yang tangguh, adaptif, dan berkeadilan.

“Kami tidak menolak regulasi, tetapi kami ingin memastikan bahwa kebijakan dibuat dengan mendengar suara pelaku di lapisan bawah. Kalau tidak, kita hanya membangun dari atas tanpa fondasi yang kuat di akar,” pungkasnya.

(Ome)